Oleh: Muhammad Busyra, S.Kom.I
“Katakanlah: Inilah Jalanku (baca:agamaku), aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allahdengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orangyang musyrik” (QS. Yusuf [12]: 108).
Membicarakan tentang dakwah, kiranya tidak akan pernah adahabisnya; selalu saja ada sisi yang bisa kita ungkap, baik itu sisi dai,mad’u, maudhu’, media maupun metodenya. Dalam tulisan ini, kita akancoba membincang satu unsur saja, yaitu maudhu’ (baca: pesan, materi, isi,contens). Dakwah merupakan kata yang familiar, terlebih kitaadalah pegiat kampus yang menjelajahi belantara Dakwah dan Komunikasi.
Coretan ini hanyalah refleksi penulis, kala berkenalan denganbangku universitas. Fenomena dakwah yang begitu kentara, secara sadar, mengajakpenulis untuk mau dan mampu menyibak fenomena guna menangkap nuomena. Masukpada substansi dan nilai, tidak puas pada kemasan dan aksesori. Hinggasekali-kali kita perlu mengambil jarak, melakukan objektivasi terhadap rumahbahasa dan makna tempat kita lahir dan tumbuh.
Dewasa ini, dakwah begitu masif. Baik itu mimbar jumat,pengajian di mesjid-mesjid, pengajian keliling di rumah-rumah, pengajianmingguan, pengajian bulanan sungguh kentara. Terlebih dengan bantuan “tanganmedia”, dakwah ini semakin semarak. Media cetak (surat kabar, majalah, buku danbuletin), media elektronik (radio, televisi) bahkan sampai internet pun turutmenghidangkan maudhu’ (baca: pesan dakwah). Sekadar contoh, TVOne denganDamai Indonesiaku, Trans TV dengan Islam itu Indah, Indosiar dengan Mamah danAa, berikut media lainnya. Kita sama-sama menyaksikan, banyak sekalimad’u(baca: penerima dakwah) yang turut andil. Namun sayang, semaraknya mad’uitu tidak diimbangi dengan bobot (baca: kualitas) maudhu’-nya; denganberujung dakwah itu hanyalah “sambil lalu”; dalam bahasa penulis; hanyalahritus-ritus formal.
Dengan demikian, kiranya ada yang mesti kita perbincangkan.Sebenarnya, Ada apa dengan dakwah kita (baca: pendakwah dadakan bukan karenapendakwah didikan)? Apakah gencaran dakwah yang selama ini merebak, sebatasrutinitas tanpa meninggalkan bekas. Sehingga kita mengenal STMJ (Shalat TerusMaksiat Jalan). Kalaulah kita berkaca pada sejarah, Rasulullah Saw., hanyadalam kurun waktu ± 23 tahun, sukses menelurkan dakwahnya, memobilisasi situasiyang carut marut pada kondisi yang beraturan dan tertata rapih.
Di muqadimah, dikutipkan terjemah QS. Yusuf [12]: 108. Padaayat tersebut kiranya adakalimat yang mesti kita perhatikan, yaitu mengajak(kamu) kepada Allah dan hujjah yang nyata. Secara mendasar, dakwahmerupakan jalan Nabi dan para pengikutnya. Yang tentunya mesti ada estapetaperjuang dakwah Nabi – dalam hal ini, maudhu’-nya harus merujuk pada apayang disabdakan oleh Rasulullah, yang kemudian diwaritskan pada ulama. Mengapapenting diperhatikan? Karena tidak sedikit dakwah yang selama ini mencuatkepermukaan – terkadang maudhu’ yang didakwahkannya selalu disisipkanide darida’i (baca: pendakwah, komunikator), yang semestinya itumenyampaikan wahyu tapi malah menyampaikan nafsu (baik itu ide, opini,tindakan) si pendakwah.
Untuk mengantisipasinya, maka da’i itu mestimemperhatikan maudhu’-nya, dengan memastikan dalam maudhu’-nyaitu harus memenuhi dua kriteria berikut ini: (1) dakwah ilal-Llah(mengajak kepada Allah) dan (2) ‘al bashirah (berdasarkan hujjah yangnyata).
Untuk kriteria yang pertama, dakwah ilal-Llah, menurutibnu Katsir, maksudnya adalah dakwah pada syahadat La ilaha illal-Llah (pengakuan/keyakinantiada tuhan selain Allah). Bahkan al-Utsaimin dalam kitabnya al-Qaulul-Mufidsyarh kitab at-Tauhid menegaskan, yang dimaksud dakwah ilal-Llah adalahkeikhlasan karena mengharapkan ridha Allah, tentunya tidak untuk menariksimpati massa sebagai ajang kampanye, populatiras semata dan tidak pula menjadida’i amplop. Dan di sini kiranya dibutuhkan profesionalisme da’i.
Adapun kriteria kedua, ‘ala bashirah, maksudnya, masihmenurut ibnu Katsir adalah berdasarkan pada yaqin (ilmu yang yakin dantidak meragukan) dan burhan (argumentasi yang jelas dan kuat). As-Sa’didalam kitab tafsirnya menegaskan bahwa ‘ala bashirah itu maksudnyaadalah ‘ala ‘ilmin wa yaqin bilaa syakkin (berdasarkan pada ilmu yangmeyakinkan serta tidak ada unsur keraguan). Adapun ilmu yang dimaksud di siniadalah, masih menurut al-Utsaimin adalah mencakup pada: (1) ilmu agama (baca:syari’at), (2) ilmu tentang mad’u (objek dakwah/.masyarakat), dan (3)ilmu tentang metode dakwah.
Memperhatikan ketiga point di atas, ibnu Qoyyim al-Jauziyyahmenegaskan, bahwa pesan ini tidak bisa dilepaskan dari ayat yang mengajarkantentang dakwah itu sendiri (lihat QS. An-Nahl [16] ayat: 125).
Dalam kaitan dakwah ilmiah ini, hal pertama yang harusdiingat adalah bahwa agama itu, sebagimana tertuang dalam hadits Jibril, yangterdiri dari: (1) Iman [aqidah], (2) Islam [ibadah], dan (3) Ihsan [akhlak].
Memperhatikan ketiga point di atas, maka dapatlah kita tarikbenang merah, fokus utama dalam berdakwah adalah ketiga bidang tersebut. Paraulama memberikan istilah Ilmu Fardlu ‘Ain. Siapa pun orangnya, darilatar belakang apa pun asalnya, dan apa pun pekerjaannya, mesti tanpaterkecuali memahami aqidah, ibadah dan akhlak dengan benar. Penyebarluasandakwah, khususnya dalam aspek ibadah tentunya sangat luas. Mulai dari yang ‘ibadahmahdhah sampai pada perkara halal-haram. Wallahu a’lam.